MERAYAKAN KEGAGALAN
Setelah sekian lama lentikan jari ini tidak menari diatas keyboard untuk menuangkan isi pikiran, maka kini tiba saatnya di awal September ini menjadi titik awal kembali bagiku untuk menulis sebuah rangkaian cerita yang cukup mengusik dada.
Diawali dengan iseng membaca sebuah postingan instagram diawal September ini, banyak diantara akun-akun media sosial membuat postingan yang mengutip istilah “Sadtember”, yaps, itu merupakan plesetan dari nama bulan September ini. Apalagi, generasi 2000an pastinya akrab sekali dengan lagu “Wake Me Up When September End”. Ya, seakan semuanya tahu bahwa bulan ini akan banyak sekali kesedihan yang dirasa.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang merasa sedih, apalagi seperti yang kita ketahui, manusia sangat dengan mudah mengingat kesedihan dibandingkan dengan kebahagiaan yang (mungkin saja) datang lebih sering dari kesedihan itu sendiri. Namun, bawaan manusia yang selalu ingin bahagia justru mengaburkan pandangan kita, kta selalu mudah lupa dengan kebahagiaan yang dirasa, hasrat kita selalu menginginkan kebahagiaan yang baru dan lebih dari yang sebelumnya. Kondisi seperti inilah yang menghantarkan kita pada suatu kondisi dimana kita sangat rentan mengalami gangguan kesehatan mental yang diakibatkan oleh kesedihan yang berlebih.
Kalau saya, kesedihan sering dirasa ketika realita yang terjadi tidak sesuai dengan ekspektasi. Kesenjangan inilah yang sering membuat saya merasa terjatuh, dan merasakan pahitnya sebuah kesedihan itu sendiri.
G.A.G.A.L
Kondisi ini yang membuat kita sering merasakan kesedihan, bahkan pada level tertentu sampai membuat kita terlalu berlebihan menyalahkan diri sendiri dan berdampak pada kehidupan kita. Ya, kesenjangan antara target yang diharapkan dengan realita pencapaian ini menjadi salah satu situasi yang membuat manusia (dan terkadang saya) merasakan nikmatnya tenggelam dalam kesedihan.
Siapa yang mau hidupnya gagal? Kebanyakan dari kita mungkin bersepakat bahwa kita ingin mencapai sebuah keberhasilan. Tidak bisa saya tampik bahwa akan selalu ada rasa khawatir untuk merasa gagal ketika menjalani suatu proses tertentu. Beberapa orang menganggap bahwa kegagalan itu adalah sebuah aib yang harus disembunyikan. Begitu juga pasar kita saat ini, lebih tertarik dengan cerita-cerita keberhasilan yang sering sekali dinaggap memiliki nilai pembelajaran yang lebih.
Dalam tulisan ini, berhubung saya tidak memiliki keberhasilan yang patut dibanggakan, jadinya saya lebih tertarik untuk menulis kegagalan-kegagalan yang ketika saya ingat justru saya tertarik untuk merayakannya, padahal ketika menjalaninya, rasa sakit yang ada di dalam dada begitu terasa berkali-kali lipat.
Ada banyak kisah yang membuat saya merasa seperti itu, dari yang terlihat konyol tapi itu benar-benar membuat saya merasa gagal, tapi ada juga yang bagi saya itu merupakan kegagalan fatal. Saya ingat betul kita zaman SD dulu saya tidak terpilih menjadi delegasi sekolah untuk mengikuti perkemahan pramuka, padahal saya ingin sekali mengikuti kegiatan itu. Hanya ada beberapa orang yang dipilih, saya yang harap-harap cemas kala itu ternyata tidak dilirik untuk ikut serta didalamnya, entah karena alasan apa. Siapa yang sangka ternyata kegagalan untuk terlibat didalamnnya itu menyisakan sebuah kenangan yang masih tersimpan sampai dengan hari ini.
Kegagalan kedua, terjadi ketika transisi dari SMP menuju SMA. Pada saat itu saya harus menentukan SMA mana yang akan dipilih sebagai pelabuhan pendidikan selanjutnya. Jujur, saya menginginkan salah satu sekolah yang letaknya berada tepat di wilayah Kota Tasik. Saya cukup percaya diri akan hal itu, karena saya meyakini kemampuan diri saya yang telah ditorehkan pada masa SMP. Namun apadaya, qadarullah, ketika ternyata pengumuman itu disampaikan ada publik, tidak tercantum nama saya disana. Yang lebih miris lagi, orang tua teman saya menelpon dan mengucapkan selamat padahal saya tidak lolos untuk masuk ke SMA itu. Ia menelpon karena begitu yakin saya pun diterima, karena anaknya juga kala itu diterima.
Haha, masih banyak sebenarnya rangkaian kegagalan yang saya alami. Jika di masa SMA, saya membuat malu satu sekolah karena gagal dalam kompetisi IT tingkat provinsi kala itu. Kami tidak mengetahui konsep perlombaan, sehingga ketika sampai pada arena pertandingan, kami terpelanga karena apa yang kami siapkan tidak sesuai dengan apa yang ada dalam perlombaan. (Perlombaannya Cerdas Cermat, namun ternyata untuk sampai ke babak itu kita harus membuat sebuah presentasi gagasan IT dan kami tidak membuatnya pada saat itu). Kenapa saya merasa bersalah? Kala itu, saya yang menghadiri Technical Meetingnya, dan seharusnya saya yang paling tahu tentang konsep perlombaan tersebut.
Kegagalan dalam urusan percintaan? jelas menjadi cerita menarik. Tapi tidak akan saya tulis disini, hehe. Pada intinya, rangkaian kegagalan demi kegagalan inilah yang menghantarkan saya ke titik ini, titik dimana saya merasakan kegagalan yang lebih parah dari sebelumnya (HAHA). Ketika tulisan ini ditulis, saya secara resmi tidak bekerja di sebuah lembaga selama dua bulan. Gagal sebagai peran anak dalam keluarga, gagal dalam memenuhi menabung demi masa depan, dan lain sebagainya.
Kegagalan biasanya membuat kita terpuruk. Beberapa diantara kita bahkan sampai depresi karena mengalami sebuah kegagalan. Tak sedikit juga yang berakhir menjadi kehilangan nyawa. Kegagalan sangat erat kaitannya dengan kesehatan mental, yang dimana kondisi tersebut bisa berpotensi membuat seseorang menjadi sangat-sangat terpuruk dan tidak memiliki kapasitas dalam menjalankan peran kehidupan sehari-hari.
Otomatis, bagaimana respon kita menghadapi kegagalan ini harus menjadi hal yang diperhatikan. Bukan untuk selalu pasrah akan kegagalan, namun mempersiapkan diri dari risiko terburuk yang bisa saja terjadi di kemudian hari.
PREMEDITATIO MALORUM vs IKHLAS
Jika suatu musibah telah diperkirakan sebelumnya, maka efeknya akan terasa lebih ringan. Manusia akan mampu bertahan dengan keberanian yang lebih besar, ketika sudah terbiasa dengan peristiwa tersebut. Oleh karenanya manusia bijak akan selalu membiasakan dirinya dengan masalah yang mungkin akan datang.
Terkadang kita mendengar orang berkata: “Saya tau hal ini akan terjadi pada saya.” Akan tetapi orang bijak tahu bahwa semua hal bisa terjadi padanya. Sehingga untuk tiap kejadian dia berkata: “Saya tahu ini akan terjadi”
Seneca, Letter to Lucilius, 76.34–35
Saya mendapatkan prinsip premeditatio malorum ini dari buku Filosofi terasnya Henry Manampiring. Didalamnya, saya belaja tentang bagaimana membuat sebuah “imunisasi negatif”, analoginya seperti kita diimunisasi. Kita diberikan sel virus penyakit justru agar kita kita kebal dengan penyakit tersebut. Artikel lain menyebuutkan prinsip ini adalah visualisasi negatif, kita membayangkan sebuah masalah bis saja terjadi sebelum hal tersebut benar-benar terjadi.
Kondisi yang membuat kita rapuh adalah sebuah ekspektasi yang tidak sesuai dengan realita. Ketika realita ini tidak sesuai dengan ekspektasi, banyak orang justru merasa tidak siap sehingga membuat dirinya semakin tergerus dengan perasaan tersebut. Kita tidak pernah mengetahu skenario yang sudah digariskan kepada alam, dan kita hanyalah bagian kecil dari alam ini. Siapa kita, kita tidak bisa mengatur sepenuhnya kehendak yang terjadi diluar diri kita (kecuali beberapa hal yang berkaitan dengan atribusi yang kita miliki).
Seneca menuliskan, “musibah hanya akan terasa berat bagi orang-orang yang selalu mengharap beruntung”. Dengan konsep ini, kita bisa berdamai dengan kefanaan dunia. Qadarullah, saya mendapatkan konsep ini ketika membaca buku yang tidak ada kaitannya dengan agama Islam.
Namun itu justru yang menghantarkan saya untuk mencari, karena saya memiliki keyakinan bahwa pedoman hidup seperti ini telah nabi contohkan sebelumnya. Dari beberapa hal yang saya baca, konsep ini justru sangat dekat sama kita. Kita sering mendengar istilah “ikhlas” kan?
Ikhlas terbagi menjadi 2 faktor, yaitu Ikhlas memberi dan Ikhlas menerima.
Rumusan Ikhlas adalah semata-mata tentang penyerahan diri yang seutuhnya kepada Allah. Ketika kita memberi (contoh: uang), kita akan berpikir bahwa uang ini milik Allah, “aku berikan kepada engkau, karena Allah.” Maka tidak terbesit di hati untuk mengingat-ingat pemberian itu sebab sejatinya kita tidak memiliki apa-apa.
Begitupun dengan konsep Ikhlas menerima. “Masalah ini adalah dari Allah sebagai pendewasaanku dan sebagai prosesku upgrade diri.” Maka tidak akan terbesit di hati untuk menyalahkan Tuhan dikarenakan keadaan.
Mari kita pahami surrah Al-Ikhlas. Lantas apa korelasi Surrah Al-Ikhlas dengan Ikhlas? Allahushamad (Allah tempat bergantung seluruh makhluk). Maka kita akan menggantungkan diri dan hidup kita sepenuhnya kepada Allah.